Kehidupan Masa Kecil - Part 1
"Tolong jaga Yudha ya ndri, ibu mau menyapu halaman" perintah ibuku. Adalah kalimat perintah yang selalu terucap setiap sore sebelum ibuku menyapu halaman dan mencabuti rumput depan rumah yang tak kunjung pernah habis. Yudha adalah adikku yang bungsu, aku ingat rambutnya yang jarang kala itu, dengan kenakalan anak kecil aku sering menaruh pasir ke atas rambutnya dan aku gosok-gosok. Namun, dia tidak menangis, malah tertawa senang. Mungkin dia senang karena kehadiranku untuk menemaninya. Akupun tidak punya tujuan dan maksud tertentu, kenapa aku melakukan hal bodoh seperti itu. Karena hanya iseng sambil menunggu ibuku menyelesaikan aktivitasnya. Sedangkan adikku yang pertama, namanya Nia, adalah sosok wanita mungil yang udah banyak bicaranya namun mau anteng menunggui di dekat ibu yang sedang sibuk dengan aktivitasnya. "ibu ayah kapan pulang?", Nia sering mengulang pertanyaanya. "Iya sayang, sebentar lagi, sabar ya" Ibuku menenangkan. Ayahku bekerja sebagai guru PNS di salah satu sekolah swasta yang berjarak satu kilometer dari rumah kontrakan kami. Karena jarak yang tidak begitu jauh dan untuk menghemat bensin sepeda motor bututnya, setiap hari ayah berjalan kaki dari rumah hingga sekolah tempatnya mengajar. Pergi pagi pulang sore, setiap hari senin hingga sabtu. Kami berlima tinggal dikontrakan yang hanya memiliki satu dipan tempat tidur. Bukan tembok yang mengitari rumah kami, tapi hanya anyaman bambu. Bukan ubin atau tegel lantainya, melainkan tanah keras, itupun tidak rata.
Aku sendiri pada waktu itu masih SD kelas 1, Nia lebih muda tiga tahun dariku, sedangkan yudha tiga tahun lebih muda dari Nia. Walaupun dalam rumah yang kecil, tapi dengan keberadaan lima orang didalamnya seolah-olah tidak terasa sempit. Justru keramaian didalam rumah menjadikan lelah ayah dan ibu bekerja keras dipagi hingga sore hari seakan sirna. "Tok, tok, tok" terdengar ketukan pintu di rumah kami. Di minggu pagi yang cerah, disaat hari berkumpulnya semua anggota keluarga. Selalu tebersit rasa ketakutan, apa masih ada tempat buat tamu kami di gubuk yang mungil ini. " Sebentar " Ibu merespon. "Assalamualaikum bu Andri", "Waalaikum salam pakde No" Ibu membalas. Pak No adalah tetangga yang selalu memancarkan senyum di wajah cerianya. Dia adalah tamu yang bisa saya katakan tamu terfavorit. Karena tamu ini adalah tamu yang sering datang dirumah dan ngobrol sampai berlama-lama dari pagi hingga siang. Selain merokok dan ngopi, kebiasaan tamu istimewa kami ini, beliau juga selalu memotong kuku-kuku tangannya. Kami semasa kecil tidak pernah bermain jauh dari luar rumah kami. Sebatas rumah tetangga di kanan dan kiri rumah. Tetangga kiri rumah kami ini orangnya sangat baik, membiarkan kami, aku dan Nia diberikan kebebasan memasuki rumahnya tanpa pernah sekalipun kemi dilarangnya. Beliau bernama Om Aceng dan Tante Tanti, mereka berdua adalah sepasang suami istri keturunan Cina, sebagai pengusaha mebel yang juga mendiami tempat tinggalnya dengan cara mengontrak. Betapa perbedaan yang di zaman sekarang ini seringkali dipertentangkan dan dipertengkarkan, sedangkan dimasa kami kecil sangatlah menjaga toleransi dan rasa damai. "Andri, Nia ini Om punya coklat, hayuk sini ambil" seru Om Aceng. Seringkali sepulang mengantar pesanan ke pelanggan bersama Tante Tanti dan pegawainya selalu membawakan kami oleh-oleh. Mungkin karena pasangan tersebut masih teramat muda dan belum punya anak, sehingga meniadakan sekat diantara kami yang masih anak-anak.
No comments:
Post a Comment